Kendalikan Emosi

Jika anda adalah seorang manajer F&A. Suatu hari atasan / direktur
anda memanggil dan mengatakan bahwa ia, setelah mempertimbangkan
berbagai hal, memutuskan menaikkan gaji tambahan tahun 2011 ini (di
luar kenaikan reguler) untuk seluruh karyawan, tanpa terkecuali,
sebesar 25%. Alasannya, untuk membantu karyawan dalam menghadapi
situasi ekonomi yang kurang menguntungkan, selain itu dikarenakan
ternyata perusahaan masih bisa mendapatkan kenaikan keuntungan. Semua
ini tentu tak terlepas dari jerih payah karyawan. Sang direktur
meminta anda untuk melakukan berbagai persiapan dan mengumumkan hal
ini satu minggu kemudian.
Namun demikian, direktur meminta anda untuk memegang rahasia ini
rapat-rapat. Tak boleh bocor sedikit pun, bahkan dengan sesama
manajer. Pokoknya, "top secret". Wow, ini adalah kejutan yang luar
biasa menggembirakan. Semua orang pasti akan senang. Anda tentu tak
sabar menunggu satu minggu kemudian dan merasakan kegembiraan melanda
seluruh karyawan.
Tapi, waktu satu minggu terasa lama sekali. Padahal kegembiraan ini
amat berat untuk disimpan dalam hati. Ingin sekali rasanya
mengutarakan berita gembira ini, setidaknya pada
rekan anda manajer SDM. Bukankah mareka semestinya patut mengetahui
terlebih dahulu. Tetapi, direktur minta anda untuk menjaganya
rapat-rapat.
Apakah anda merasa bahwa anda termasuk orang yang mampu mengendalikan
emosi anda?
Dari contoh di atas, sadarkah kita bahwa memegang sebuah rahasia
(berita baik) merupakan ujian bagi kemampuan kita mengendalikan emosi?
Seandainya saja si manajer F&A itu tak mampu menahan perasaan
gembiranya, mungkin saja ia akan menceritakan hal tersebut pada timnya
atau koleganya si Manajer SDM. Meski ia tak lupa membubuhi bahwa "Ini
rahasia lho. Jangan dibocorkan ke mana-mana.", tetap saja berita itu
tersebar. Kemampuan kita mengendalikan emosi menunjukkan kemampuan
kita menjaga sebuah kepercayaan. Lebih lanjut, merupakan cermin
kematangan kita dalam bersikap dalam menghadapi setiap keadaan.
Apakah anda merasa bahwa anda adalah emosi anda?
Emosi atau perasaan datang silih berganti. Bayangkan kita sedang
berdiri di sebuah padang pasir yang berangin kencang. Perasaan atau
emosi bagaikan butir-butir debu pasir yang melayang-layang bersama
angin. Ia meliputi diri kita dengan riuh. Ketika sebuah peristiwa
(misal, pertengkaran) terjadi, sebutir debu yang bermuatan emosi
amarah melintas dan "tertarik" untuk menempel dalam diri kita. Dengan
sigap pikiran meraih dan mengolah debu emosi amarah itu dan
mewujudkannya menjadi sebuah ekspresi kemarahan, misal, berteriak,
menggebrak, dan lain-lain. Bila kita tak segera mengendalikan
(membersihkan) diri dari tempelan debu emosi kemarahan ini, maka
kemarahan akan semakin memuncak dan sulit untuk dikendalikan lagi.
Sebaliknya, bila kita mampu sejak dini mawas diri akan adanya debu
emosi ini, maka kita dengan lebih mudah mengatasi. Selain debu emosi
kemarahan, tentu masih banyak debu emosi lain yang beterbangan di
padang pasir perasaan ini, seperti perasaan gembira, senang, sedih,
kecewa, takut, cemas, dan lain-lain. Semuanya beterbangan secara acak,
dan menempel pada diri kita akibat daya tarik yang muncul dari suatu
peristiwa. Namun, seberapa jauh emosi itu menguasai diri tergantung
dari seberapa lemah kita mampu mengendalikan pikiran dan diri kita.
Apakah anda merasa bahwa anda adalah sosok yang tenang dan senantiasa
mengamati berbagai emosi yang datang silih berganti dalam diri anda?
Menurut anda, mengapa anda (bagaimana anda) bisa menemukan sosok
tenang dalam diri anda?
Permisalan di atas hanya bermaksud menggambarkan bahwa emosi dapat
dipandang sebagai sesuatu yang berasal dari luar diri kita. Emosi
tidak harus (bahkan memang seharusnya tidak) identik dengan diri kita.
Ini cukup bertolak belakang dengan kebiasaan yang berlaku dalam
kehidupan sehari-hari dimana kita biasa menyatakan emosi kita dengan
perkataan, "saya sedang marah", "saya sedih", "saya gembira sekali",
dan seterusnya. Kita biasa menganggap bahwa perasaan kita adalah diri
kita itu sendiri. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah perasaan
marah sedang melanda kita, perasaan senang sedang memenuhi diri kita.
Sedangkan kita bukanlah "amarah" itu sendiri, kita bukanlah "senang"
itu sendiri. Mengidentikkan diri kita dengan emosi sebenarnya
menyulitkan kita untuk memahami dan meneguhkan kendali diri. Menjadi
agak sulit bagi kita untuk mengendalikan emosi bila kita tidak
berusaha membedakan mana diri kita mana emosi. Namun, dengan
membedakannya kita menjadi subyek pelaku yang bisa secara aktif dan
sadar menangani obyek emosi yang sedang melanda.
Menurut anda mengapa anda harus mengendalikan emosi? Dengan cara
apakah anda mengendalikan emosi?
Bila emosi dipandang sebagai sesuatu yang berasal dari luar diri, maka
sebenarnya kita tak sepenuhnya berdaya atas datang perginya emosi.
Kita pun tak sepenuhnya mampu menahan emosi untuk tetap berada dalam
diri semau kita. Mari kita perhatikan, tak mungkin kita merasakan
kegembiraan terus-menerus. Tak mungkin pula kita merasakan kesedihan
terus-menerus. Pada waktunya perasaan sedih hilang digantikan dengan
perasaan lain, begitu pula sebaliknya. Perhatikan, bahwa kita tak
kuasa untuk menjaga kegembiraan berada dalam diri setiap saat. Kita
pun tak kuasa menolak perasaan sedih singgah dalam jiwa kita. Jadi,
mengendalikan emosi pada dasarnya bukan menolak hadirnya emosi dalam
diri, namun menyadari akan hadirnya emosi itu dalam diri. Kemampuan
mengendalikan emosi lebih terletak pada kemampuan mengendalikan
pikiran kita, karena pikiranlah yang mengidentikkan emosi itu sebagai
diri kita. Pikiranlah yang menjadi bahan bakar emosi sehingga membesar
dan membakar seluruh diri. Kematangan emosi seseorang sebenarnya hasil
dari kematangannya dalam mengendalikan pikirannya sendiri.
Bila anda bukanlah emosi anda, maka siapakah anda?
Sebuah pertanyaan sederhana yang untuk menjawabnya butuh sebuah
penenangan diri yang dalam. Bila kita bukan emosi kita, maka kita
sebenarnya merupakan sesosok yang tenang yang dengan cermat mengamati
setiap emosi dan perasaan yang hadir dalam pikiran. Kita adalah
sesosok yang tenang yang dengan hati-hati mengamati setiap gerak
pikiran yang terjadi. Dengan demikian kita adalah sesosok yang tak
perlu tergoyahkan oleh rasa takut, atau terbuai oleh kegembiraan,
namun menggunakan seluruh karunia emosi itu sebagai sebuah kekuatan
untuk membangun hubungan dengan orang-orang dan alam secara harmonis
dan keseluruhan.
Cobalah anda berlatih mengenali bentuk-bentuk emosi yang melintas
dalam pikiran, juga mengamati gerak-gerik emosi yang terjadi dalam
diri seseorang. Diharapkan dengan demikian kita bisa memahami bahwa
emosi kita selalu berhubungan emosi orang lain. Emosi ibarat sebuah
awan yang meliputi anda dan sekitar. Anda mempengaruhi orang lain
dengan emosi anda, atau lebih tepatnya dengan pikiran anda.
1.      Lakukan relaksasi di awal hari anda. Ada banyak metode
relaksasi, anda bisa coba yang paling sesuai dengan diri anda. Cara
paling awam adalah dengan mengamati gerak naik turun nafas anda secara
alami. Lakukan selama 10 atau 20 menit. Cobalah perlahan-lahan. Jangan
paksakan diri. Biarkan semuanya berjalan apa adanya. Apakah anda bisa
menemukan pikiran yang tenang dalam relaksasi itu? Apakah anda mampu
menemukan suatu keadaan yang bersih dari emosi-emosi yang biasanya
mempengaruhi diri anda?
2.      Pahami ketenangan yang anda rasakan. Kemudian, melangkahlah
dalam kegiatan sehari-hari. Berusahalah untuk mengamati setiap gerak
emosi yang terjadi dalam diri anda. Apakah anda mampu menangkap setiap
"debu" emosi yang menodai ketenangan pikiran anda?
3.      Catat setiap perubahan yang terjadi secara fisik dan psikis
dalam diri anda. Misal, di saat anda marah, catat perubahan yang
terjadi dalam degub jantung anda, rasa panas/dingin dalam diri anda,
kekacauan dalam kesadaran anda, atau bahkan hilangnya diri anda karena
tertelan oleh kemarahan itu. Catat dan amati saja, tak perlu melakukan
apa-apa.
4.      Pada tengah hari, coba lakukan kegiatan relaksasi lagi.
Temukan ketenangan pikiran itu lagi. Mungkin anda akan merasakan
sebuah kesulitan karena lebih banyak "debu" yang harus anda bersihkan.
5.      Dengan bekal ketenangan coba amati dan catat setiap perubahan
emosi yang terjadi yang ditunjukkan oleh orang-orang (pilih 1 rekan
baik anda sebagai bahan percobaan) di sekitar anda. Apakah anda mampu
membedakan mana orang yang senantiasa mengendalikan dirinya, dan mana
orang yang cenderung mengumbar emosinya. Mengendalikan emosi adalah
mengendalikan pikiran. Emosi itu bagai sepertik bunga api yang
memancar dari awan, sedangkan pikiran adalah kayu kering yang mudah
sekali terbakar oleh pertikan bunga api. Mengendalikan pikiran adalah
menjaga agar kayu kering itu tak mudah terbakar, yaitu dengan menjaga
ketenangan pikiran. Mengendalikan emosi adalah juga menjaga ketenangan
diri.
(6. Bagi rekan-rekan yang muslim, saya sarankan menggunakan kebiasaan
dzikir pagi dan sore salah satunya untuk ketenangan hati serta
beristighfar plus berwudhu dikala emosi datang tanpa dapat
dikendalikan – it works)
Semoga bermanfaat!
Have a positive day!
--
=====================================================
Regards,
Syamsi Kusyanti

0 Komentar: